Pendahuluan
Bunga melati bunga di darat,” Hina besi kerana karat”
Bunga seroja di tepi kali, “Hina manusia tidak berbudi”. Masyarakat Melayu
begitu menghargai dan menjunjung tinggi budi. Mereka menilai segala
sesuatu itu berdasarkan pada budi. Buktinya, kecantikan seseorang bukan dinilai
pada paras rupanya tetapi dinilai pada budi pengerti atau akhlaknya. Manusia
akan dipandang hina jika tidak berbudi, dan satu-satu bangsa itu pula akan
runtuh jika budinya runtuh.
Bagi orang melayu budi amatlah diutamakan. Bertanam budi dan
membalas budi merupakan perbuatan mulia dan terpuji. Orang tua-tua mengatakan,
“Bila sudah termakan budi, di sanalah tempat melayu mati”. Dalam kehidupan orang
melayu, sebutan orang berbudi melambangkan perilaku terpuji, mulia dan
dihormati oleh masyarakatnya. Sebaliknya, jika disebut tak tahu budi atau tak
membalas budi, maka seseorang dianggap jahat, tak tahu adat, berprilaku buruk ,
hina, dibenci dan dijauhi masyarakat. Kini remaja melayu sebagai penerus bangsa
sudah banyak yang tidak sesuai dengan sikap yang diajarkan oleh masyarakat
melayu, menjunjung tinggi akhlak. sedikit demi sedikit budi remaja melayu
terkikis.
Berbagai ragam krisis
akhlak dan moral kini terus menular, merebak dan Sudah melekat dalam masyarakat
kita khasnya di kalangan remaja. hamil luar nikah, Minum-minuman, Pecandu dan
tawuran seusai pulang sekolah sudah menjadi kebiasaan yang susah di hilangkan,
hampir semua kejahatan dilakukan oleh remaja. Dari berita multimedia seperti
televisi banyak mempertontonkan kenakalan remaja, seakan akhlak tidak di
gunakan lagi, dan sudah terhapus dalam hati remaja.
Kurangnya pendidikan
moral yang diajarkan orang tua, jauhnya remaja sekarang dengan masjid untuk
membaca alqur’an dan mempelajari islam, bahkan tidak adanya pelajaran yang
secara khusus membahas moral di sekolah tingkat SMP, SMA, di tambah masuknya
budaya asing membuat remaja kian hancur, di samping itu faktor-faktor tertentu
seperti mencari kepuasan nafsu, ingin membebaskan diri dari kemiskinan, menjual
barang-barang terlarang, bertelingkah dengan ibu bapa, bosan duduk di rumah,
trauma akibat perbuatan seks dan sebagainya rupa-rupanya lebih berpengaruh dari
asuhan institusi pendidikan yang sudah ada.
Rusaknya moral ini akan
berkaitan dengan cerminan budaya yang ada di daerah tempat remaja itu hidup,
jika tidak di benahi maka provinsi Riau akan terpuruk dan mempunyai
cerminan negatif . Padahal Riau mempunyai visi
Terwujudnya
Provinsi Riau Sebagai Pusat Perekonomian Dan Kebudayaan Melayu Dalam Lingkungan
Masyarakat Yang Agamis, Sejahtera Lahir Dan Bathin, Di Asia Tenggara Tahun
2020”. sesuai
dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Riau No. 36 tahun 2001 tentang Pola
Dasar Pembangunan Daerah Provinsi tahun 2001-2005.
Tujuk Ajar Melayu dalam mendidik Budi Pekerti
Tujuk
ajar yang dimaksud di sini adalah segala jenis petuah, petunjuk, nasihat,
amanah, pengajaran dan contoh teladan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia
dalam arti luas. Menurut orang tua-tua melayu,”tunjuk ajar Melayu adalah segala
petuah, amanah sri tauladan dan nasehat yang membawa manusia ke jalan yang
lurus dan dirihdoi Allah, yang berkahnya menyelamatkan manusia dalam kehidupan
di dunia dan kehidupan di akherat”. Di dalam ungkapkan disebutkan :
Yang di sebut tunjuk
ajar,
mencelikkan mata
menyaring telinga
membersihkan hati
menyempurnakan budi
membaikkan pekerti
Pendidikan Budi Pekerti
merupakan wadah penting untuk merangkai permasalahan akhlak dan melahirkan
manusia yang baik. Penekanan pendidikan budi pekerti dalam sosialisasi budaya melayu
dalam lingkungan masyarakat yang agamis di Riau adalah jelas. Ini kerana antara
lainnya bertujuan membangun dan melahirkan insan secara bersepadu dan seimbang
demi merealisasikan fungsi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Dan dengan pemantapan komponen akhlak remaja melayu dalam era globalisasi akan
terwujudnya riau daerah yang agamis dan menjunjung tinggi budi pekerti.
Al-Qur’an sebagai
sumber agama islam mengatakan manusia di ciptakan untuk menjadi khalifah :
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan
kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di
antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat
darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari
perhitungan. (QS.Shaad:26)
Sejak kedatangan lslam ke Kepulauan
Melayu sejak awal abad ke 13 atau 14 Masehi, orang Melayu menerima lslam
sebagai cara hidup. Walaupun terdapat beberapa ritual asing seperti adat Hindu
yang masih melingkari kehidupan harian, adat-adat ini telah dimodifikasikan
selaras dengan konsep lslam sebagai ad-Din. Pengaruh lslam telah merombak
aspek-aspek penting dalam kehidupan orang Melayu terutama berkaitan dengan budi
pekerti. Konsep Penekanan lslam kepada pentingnya akhlak telah memberi impak
besar kepada orang Melayu.
Suku Melayu memiliki tradisi pendidikan budi
pekerti keluarga yang kuat, khususnya pendidikan anak. Beragam ajaran budi
pekerti, baik melalui pantun, syair dan ungkapan-ungkapan dapat ditemukan dalam
tradisi Melayu (Tenas
Effendy, 2006; Koentjaranigrat, 1970). Orang melayu mengajarkan anaknya mengacu
dengan tunjuk ajar pakaian nan delapan belas (Made Purna
dkk., 1993).
Pakaian nan delapan belas atau juga biasa disebut sifat yang delapan
belas.
Sifat ke delapanbelas diantaranya Sifat tahu
asal berkejadian. (Sifat ini dimaksudkan agar anak Melayu berilmu,
beragama, dan bertakwa kepada Tuhan). Sifat tahu membayar utang. (Anak
Melayu harus tahu membalas budi, terutama kepada orangtua, kerabat, dan
masyarakat). Sifat tahu kan bodoh diri. (anak Melayu harus menyadari
kekurangan diri sendiri, mencintai ilmu, dan menghormati orang berilmu). Sifat
tahu diri. (anak Melayu harus menjaga diri dalam pergaulan sehari-hari di
dalam keluarga dan masyarakat). Sifat hidup memegang amanah. (anak
Melayu harus setia dan dapat dipercaya). Sifat benang arang.(anak Melayu
harus jujur, sesuai antara kata dan perbuatan). Sifat tahan menentang
matahari. (anak Melayu harus berani menegakkan keadilan dan kebenaran). Sifat
tahu kilik elak. (anak Melayu harus bijaksana, tanggap, dan cekatan). Sifat
menang dalam kalah. (anak Melayu harus rendah hati, tenggang rasa, dan
bangga kepada diri sendiri) Sifat tahan berkering. (Anak Melayu harus
tabah dan rajin bekerja). Sifat unjuk dengan beri. (anak Melayu harus
dermawan dan setia kawan). Sifat timbang dengan sukat. (anak Melayu
harus adil dan benar). Sifat tahu kan malu. (anak Melayu harus
memelihara malu dalam dirinya dan tidak memalukan orang lain). Sifat nan
bersifat. (anak Melayu harus menghargai dan menghormati orang lain, serta
meletakkan sesuatu pada tempatnya). Sifat ingat dengan minat. (anak
Melayu harus ingat dan perhatian terhadap lingkungannya). Sifat pinjam
memulangkan. (anak Melayu harus bersifat tanggung jawab). Sifat hidup
meninggalkan. (anak Melayu harus mempunyai pandangan jauh ke depan serta
berusaha meninggalkan karya, jasa, dan nama baiknya). Sifat nan pucuk atau
sifat tua. (anak Melayu harus memiliki jiwa pemimpin)
Kini remaja melayu sudah jauh dari sifat
kedelapan belas tersebut. Apakah karena salah kedua orang tua, instansi
pendidikan ataukah lingkungan ? Yang terpenting anak tidak bisa disalahkan
karena anak di ciptakan di dunia itu suci sebagaimana sabda rasullah :
“Setipa anak yang dilahirkan itu suci yang
menjadikannya yahudi dan nasrani kedua orang tuanya (HR. Bukhori Muslim)
Orang tua sekarang harus lebih bekerja keras
untuk menjadikan anak-anak mempunyai sifat kedelapan belas yang ada di dalam
budaya melayu. Senada dengan sifat
kedalapan belas rasullah SAW bersabda :
“Bergaulah dengan
anak-anak mu dan bimbinglah kepada akhlak yang mulia” (HR. Muslim)
Nilai-nilai
Budi Pekerti Remaja Melayu
Masa remaja adalah
tahapan perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa, yaitu antara umur 13
hingga 18-20 tahun, pada masa ini terjadi perubahan pesat, baik secara jasmani(fisik)
maupun mental, emosional dan sosial. Berdasarkan data Susenas 2011, jumlah pemuda
Riau tahun 2011 mencapai 1,992,5 juta jiwa atau persen dari total penduduk
yang terdiri dari 988,7 juta pemuda laki-laki dan 1,003, 8 juta pemuda
perempuan[1].
Dengan jumlah yang amat
besar tersebut, maka peran strategis remaja dalam membangun budaya melayu
sangatlah penting. Dari gerakan remaja budaya melayu bisa berkembang, baik
buruknya bangsa dapat dilihat dari generasi penerusnya. Jika generasi sekarang
remaja kita berakhlak baik, maka akan baik pula daerah yang akan datang, tetapi
jika remaja penerus sekarang tidak berakhlak, maka daerah melayu akan mempunyai
cerninan negatif di mata masyarakat.
Nama Melayu telah
dikenal dalam rentang waktu yang cukup lama. Kata atau nama Melayu telah
disebut-sebut pada tahun 664/45 Masehi, dan muncul pertama kali dalam catatan
(buku tamu) kerajaan China.
Melayu diartikan
sebagai satu suku yang berasal dari Indalus (Sumatra) dan Seberang Sumatra
(Malaka). Di Indalus atau Andalas terdapat kerajaan yang berhadapan dengan
Pulau Bangka, di sana ada Sungai Tatang dan Gunung Mahameru serta sungai yang
bernama ‘Melayu’. Rajanya bernama Demang Lebar Daun. Kata ‘melayu’ masih
ditemui pada bahasa-bahasa di sekitar Palembang dan juga di Pulau Jawa; yang
dihubungkan dengan kata ‘melaju’, atau ‘deras’,’kencang’. Kemudian ‘melayu’
dapat diartikan sungai deras aliran airnya; bisa juga ditafsirkan orang atau
penduduknya pedagang yang gesit, dinamis. Melayu dapat pula berarti dagang;
yang berarti orang asing. Bangsa Melayu identik sebagai seorang pedagang yang
gesit. Fenomena kata ‘melayu’ yang kali kedua ini dan kemudian ditolak ukur
dengan pernyataan ‘melayu’ pada poin pembahasan di pragraf sebelumnya juga
sejalan dengan pernyataan dari catatan seorang biksu China bernama I tsing
(Haan 1897; Schnittger 1939). Menurut catatan sang biksu, dia sempat
mengunjungi Kerajaan Melayu sebanyak dua kali, yakni tahun 671 M dan 685 M.
Melayu juga diidentikan
dengan Agama Islam. Yang disebut ‘orang melayu’ adalah orang yang memeluk agama
Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu; tidak ada orang Melayu
yang tidak beragam Islam.
Kerumpunan Melayu yang
berkembang di Riau sangat mendominasi. Ini tidak dapat dilepaskan dari nilai
sejarah pembentuknya. Kebudayaan Melayu yang begitu kental di wilayah Riau
kemudian disinyalir sebagai suatu petanda sentiment yaitu tentang pusat Budaya
Melayu. Oleh pemerintah setempat dan tentunya didukung oleh remaja riau, warisan
Budaya Melayu yang mendominasi wilayah Riau ini menjadi sebuah proses pelacakan
pusat Budaya Melayu dengan sebuah misi publik yaitu : Riau adalah pusat dari
Budaya Melayu Dunia dalam masyarakat agamis pada tahun 2020 kelak. Menciptakan
masyarakat agamis tersebut tidak akan terlepas dengan prilaku remaja tentang
prilaku yang baik, dengan berakhlak baik riau bisa menciptakan masyarakat agamis.
Budi pekerti dalam
budaya Melayu menyangkut juga budi bahasa yang bermakna keseluruhan aktivitas
seseorang yang melingkupi cara bertutur kata atau berbahasa, bersikap, bekerja,
berhubungan dengan orang lain (dengan teman sebaya, dengan orang yang lebih tua
atau yang dituakan, juga kepada anak-anak), menjadi pemimpin dan beramal. Orang
melayu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budi pekerti, pengamalan nilai-nilai budi pekerti itu
terlihat dari perilakunya seharihari.
Dalam salah satu bait
Gurindam duabelas, Raja Ali Haji, budayawan Melayu abad ke-19 berpesan, “Jika
hendak melihat orang berbangsa, lihat kepada budi bahasa.” Peranan budi
pekerti dalam diri orang melayu sama dengan peranan akhlak karimah bagi seorang
muslim. Sebagai seorang muslim yang taat, orang melayu akan mensejajarkan
antara budi pekerti dengan akhlakul karimah. Bukan hal yang aneh, jika
nilai-nilai budi pekerti juga banyak bersumber dari akhlakul karimah islam.
Rasullah pun bersabada :
“Sesungguhnya orang
yang paling baik di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR.
Bukhori Muslim)
Orang tua melayu juga
menegaskan, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang tahu berbudi dan tahu
pula membalas budi. Dalam ungkapan dikatakan, “Bila hidup berbudi, sempurnalah
ia mati”, yang maksudnya bila seseorang selama hayatnya beramal saleh dengan
menanam kebajikan, berbuat kebaikan dan berbudi kepada makhluk tuhan, maka
pahallanya akan menyelamatkannya, baik kita di dunia maupun di akherat.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan”. (Al-Qashash : 77)
Visi Riau Terwujudnya Kebudayaan Melayu Dalam
Lingkungan Masyarakat Yang Agamis, Sejahtera Lahir Dan Bathin, Di Asia Tenggara
Tahun 2020. Dapat dikembangkan melalui pemanfaatan remaja, pendidikan
akhlak yang baik kepada remaja atas peran orang tua, guru dan instansi
pendidikan akan membuat remaja kita berakhlak baik sebagaimana telah diajarkan
oleh rasullah.
“Sesungguhnya aku di
utus untuk menyempurnakan Akhlak”
(HR. Muslim)
Jika orang tua sebagai pemantau utama tidak difungsikan, maka
remaja tidak akan mempunyai akhlak yang baik. Kemudian visi Riau akan berubah.
Terwujudnya kebudayaan Melayu dalam masyarakat yang tidak agamis berutal dan
tidak berbudi di asia tenggara 2020. Dan visi Riau tinggal nama saja.
Konklusi Sikap
Terhadap pembentukan akhlak
Remaja akan menjadi aktor utama
dalam pentas kesejagatan (millenium ketiga), karena itu generasi muda (remaja)
harus dibina dengan budaya yang kuat berintikan nilai-nilai dinamik yang
relevan dengan realiti kemajuan di era globalisasi. Budaya adalah wahana
kebangkitan bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kekuatan
budayanya. Keutuhan budaya bertumpu kepada individu dan himpunan institusi
masyarakat yang memiliki kapasitas berkemampuan dalam mempersatukan seluruh
potensi yang ada.
Perkembangan kedepan banyak
ditentukan oleh peranan remaja sebagai generasi penerus dan pewaris dengan
kepemilikan ruang interaksi yang jelas menjadi agen sosialisasi guna
menggerakkan kelanjutan survival kehidupan kedepan. Kecemasan atas penyimpangan
prilaku kemunduran moral dan akhlak, kehilangan kendali para remaja, sepatutnya
menjadi kerisauan semua pihak. Ketahanan bangsa akan lenyap dengan lemahnya
remaja. Saya tidak senang menggeneralisasi kenakalan remaja terjerumus kedalam
lembah dekadensi moral dan kenakalan remaja. Analisa realitas objektif
menunjukkan bahwa tidak seluruhnya remaja rusak. Dengan berpikiran positif
tidak pula harus ditunggu setelah semua remaja terpuruk kedalam lumpur a-moral
barulah upaya perbaikannya dilaksanakan dengan intensif.
Secara realitas kita tidak bisa lari
dari remaja jika kita ingin menjadikan riau kelak daerah yang agamis, untuk
mngembalikan remaja riau sekarang mempunyai sifat nan delapan belas harus ada
upaya dalam merubahnya, kebiasaan yang telah di tinggalkan tapi mempunyai nilai
pendidikan penting bagi remaja yaitu “Gerakan magrib Menngaji”.
Budaya
maghrib mengaji di kalangan masyarakat perlu dihidupkan kembali, sebab saat ini
kebiasaan umat muslim tersebut sudah mengalami penurunan. “Kebiasaan
maghrib mengaji sudah mulai hilang di kalangan masyarakat, khususnya bagi para
remaja. Kalau dulu biasanya orang tua selalu menyuruh anaknya membaca Al Quran
usai melaksanakan ibadah maghrib,”
Melalui
Gemar Mengaji setiap maghrib anak-anak diajak untuk mengaji dan menyimak Al
Quran dan kandungannya. Langkah tersebut diyakini akan mampu menciptakan
generasi yang penuh kasih sayang, hormat menghormati, berbudi pekerti tinggi
sebagaimana nilai-nilai yang diajarkan dalam Al Quran. “Saat ini anak-anak atau
remaja sedang tumbuh berkembang di tengah arus globalisasi dan liberalisasi
yang dengan deras masuk serta mempengaruhi pemikiran para generasi muda melalui
berbagai penjuru. Oleh sebab itu salah satu cara untuk menyaring hal negatif melalui
budaya mengaji,”.
Dengan terus
meningkatkan dan mengajarkan nilai-nilai Al Quran diharapkan akan mampu menjadi
salah satu panangkal masuknya beberapa pemahaman yang bertentangan dengan nilai
dan norma agama maupun sosial.
Banyak
generasi muda cenderung ingin sukses secara singkat tanpa menghargai proses,
sehingga yang terjadi adalah generasi yang kurang memiliki ketahanan mental
sebagaimana yang diharapkan. “Sehingga pendidikan berbasis Al Quran harus terus
dikembangkan dan didukung oleh seluruh pemangku
jabatan terkait gerakan tersebut sangat strategis untuk
menghidupkan kembali tradisi membaca Al Quran yang pernah dilakukan terutama di
kampung-kampung, di tengah kesibukan dan perubahan jaman yang seolah-olah
menenggelamkan budaya mengaji.
Tayangan
televisi di waktu Maghrib telah menghipnotis masyarakat, khususnya anak-anak.
Stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan program unggulannya –sinetron,
film, kartun, realty show, dan lainnya-- demi menarik pemirsa di waktu prime
time itu. Tak heran jika anak-anak
sulit beranjak dari depan televisi kendati adzan Maghrib telah berkumandang.
Dampak televisi terhadap perkembangan masyarakat memang
sangat besar. Secara teoritis, menurut seorang pakar, ada tiga dampak yang
ditimbulkan tayangan televisi terhadap pemirsa, yaitu dampak kognitif, dampak
peniruan, dan dampak perilaku.
Dahulu, sebelum televisi hadir di tengah kehidupan
masyarakat, kebiasaan mengaji setelah
Maghrib di rumah, surau atau masjid menjadi tradisi masyarakat Islam. Namun
sekarang, budaya tersebut perlahan-lahan hilang. Dan hanya sedikit saja yang
masih menerapkannya.
Untuk mengembalikan tradisi yang hilang, marilah kita
canangkan program Gerakan Masyarakat Magrib Mengaji (GEMMAR). Program ini merupakan salah
satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang agamis.
Jika dapat terlaksana dengan baik, maka
program ini dapat membantu membangun karakter bangsa yang agamis. Dalam suasana
yang agamis diharapkan lahir generasi bangsa yang mampu membaca, memahami dan
mengamalkan isi al-Qur’an.
Penutup
Petuah orang melayu dalam nilai-nilai tunjuk
ajar budi pekerti remaja sejatinya sangat berguna, manusia
modern tak jarang menganggapnya hanya sebagai pengajaran yang kuno dan
ketinggalan zaman, padahal keberadaannya begitu penting untuk menepis arus
globalisasi zaman sekarang agar terhindar dari degradasi akhlak, Sebab, takkan
pernah ada masa kini tanpa adanya masa lalu. Tanpa mempelajari masa lalu kita
tidak akan mengetahui sejarah kebudayaan kita. Apalagi Riau akan menciptakan
masyarakat agamis 2020