Kamis, 17 November 2011

PETUAH AMANAH MELAYU


NILAI-NILAI  DALAM TUNJUK AJAR  BUDI PEKERTI  REMAJA




Pendahuluan
Bunga melati bunga di darat,” Hina besi kerana karat” Bunga seroja di tepi kali, “Hina manusia tidak berbudi”. Masyarakat Melayu begitu menghargai dan menjunjung tinggi budi. Mereka menilai segala sesuatu itu berdasarkan pada budi. Buktinya, kecantikan seseorang bukan dinilai pada paras rupanya tetapi dinilai pada budi pengerti atau akhlaknya. Manusia akan dipandang hina jika tidak berbudi, dan satu-satu bangsa itu pula akan runtuh jika budinya runtuh.
Bagi orang melayu budi amatlah diutamakan. Bertanam budi dan membalas budi merupakan perbuatan mulia dan terpuji. Orang tua-tua mengatakan, “Bila sudah termakan budi, di sanalah tempat melayu mati”. Dalam kehidupan orang melayu, sebutan orang berbudi melambangkan perilaku terpuji, mulia dan dihormati oleh masyarakatnya. Sebaliknya, jika disebut tak tahu budi atau tak membalas budi, maka seseorang dianggap jahat, tak tahu adat, berprilaku buruk , hina, dibenci dan dijauhi masyarakat. Kini remaja melayu sebagai penerus bangsa sudah banyak yang tidak sesuai dengan sikap yang diajarkan oleh masyarakat melayu, menjunjung tinggi akhlak. sedikit demi sedikit budi remaja melayu terkikis.
Berbagai ragam krisis akhlak dan moral kini terus menular, merebak dan Sudah melekat dalam masyarakat kita khasnya di kalangan remaja. hamil luar nikah, Minum-minuman, Pecandu dan tawuran seusai pulang sekolah sudah menjadi kebiasaan yang susah di hilangkan, hampir semua kejahatan dilakukan oleh remaja. Dari berita multimedia seperti televisi banyak mempertontonkan kenakalan remaja, seakan akhlak tidak di gunakan lagi, dan sudah terhapus dalam hati remaja.
Kurangnya pendidikan moral yang diajarkan orang tua, jauhnya remaja sekarang dengan masjid untuk membaca alqur’an dan mempelajari islam, bahkan tidak adanya pelajaran yang secara khusus membahas moral di sekolah tingkat SMP, SMA, di tambah masuknya budaya asing membuat remaja kian hancur, di samping itu faktor-faktor tertentu seperti mencari kepuasan nafsu, ingin membebaskan diri dari kemiskinan, menjual barang-barang terlarang, bertelingkah dengan ibu bapa, bosan duduk di rumah, trauma akibat perbuatan seks dan sebagainya rupa-rupanya lebih berpengaruh dari asuhan institusi pendidikan yang sudah ada.
Rusaknya moral ini akan berkaitan dengan cerminan budaya yang ada di daerah tempat remaja itu hidup, jika tidak di benahi maka provinsi Riau akan terpuruk dan mempunyai  cerminan negatif . Padahal Riau mempunyai visi  Terwujudnya Provinsi Riau Sebagai Pusat Perekonomian Dan Kebudayaan Melayu Dalam Lingkungan Masyarakat Yang Agamis, Sejahtera Lahir Dan Bathin, Di Asia Tenggara Tahun 2020”. sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Riau No. 36 tahun 2001 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Provinsi tahun 2001-2005.

Tujuk Ajar  Melayu dalam mendidik Budi Pekerti
            Tujuk ajar yang dimaksud di sini adalah segala jenis petuah, petunjuk, nasihat, amanah, pengajaran dan contoh teladan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dalam arti luas. Menurut orang tua-tua melayu,”tunjuk ajar Melayu adalah segala petuah, amanah sri tauladan dan nasehat yang membawa manusia ke jalan yang lurus dan dirihdoi Allah, yang berkahnya menyelamatkan manusia dalam kehidupan di dunia dan kehidupan di akherat”. Di dalam ungkapkan disebutkan :
Yang di sebut tunjuk ajar,
mencelikkan mata
menyaring telinga
membersihkan hati
menyempurnakan budi
membaikkan pekerti
Pendidikan Budi Pekerti merupakan wadah penting untuk merangkai permasalahan akhlak dan melahirkan manusia yang baik. Penekanan  pendidikan  budi pekerti dalam sosialisasi budaya melayu dalam lingkungan masyarakat yang agamis di Riau adalah jelas. Ini kerana antara lainnya bertujuan membangun dan melahirkan insan secara bersepadu dan seimbang demi merealisasikan fungsi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Dan dengan pemantapan komponen akhlak remaja melayu dalam era globalisasi akan terwujudnya riau daerah yang agamis dan menjunjung tinggi budi pekerti. 
Al-Qur’an sebagai sumber agama islam mengatakan manusia di ciptakan untuk menjadi khalifah :
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (QS.Shaad:26)
            Sejak kedatangan lslam ke Kepulauan Melayu sejak awal abad ke 13 atau 14 Masehi, orang Melayu menerima lslam sebagai cara hidup. Walaupun terdapat beberapa ritual asing seperti adat Hindu yang masih melingkari kehidupan harian, adat-adat ini telah dimodifikasikan selaras dengan konsep lslam sebagai ad-Din. Pengaruh lslam telah merombak aspek-aspek penting dalam kehidupan orang Melayu terutama berkaitan dengan budi pekerti. Konsep Penekanan lslam kepada pentingnya akhlak telah memberi impak besar kepada orang Melayu.
Suku Melayu memiliki tradisi pendidikan budi pekerti keluarga yang kuat, khususnya pendidikan anak. Beragam ajaran budi pekerti, baik melalui pantun, syair dan ungkapan-ungkapan dapat ditemukan dalam tradisi Melayu (Tenas Effendy, 2006; Koentjaranigrat, 1970). Orang melayu mengajarkan anaknya mengacu dengan tunjuk ajar pakaian nan delapan belas (Made Purna dkk., 1993). Pakaian nan delapan belas atau juga biasa disebut sifat yang delapan belas.
Sifat ke delapanbelas diantaranya Sifat tahu asal berkejadian. (Sifat ini dimaksudkan agar anak Melayu berilmu, beragama, dan bertakwa kepada Tuhan). Sifat tahu membayar utang. (Anak Melayu harus tahu membalas budi, terutama kepada orangtua, kerabat, dan masyarakat). Sifat tahu kan bodoh diri. (anak Melayu harus menyadari kekurangan diri sendiri, mencintai ilmu, dan menghormati orang berilmu). Sifat tahu diri. (anak Melayu harus menjaga diri dalam pergaulan sehari-hari di dalam keluarga dan masyarakat). Sifat hidup memegang amanah. (anak Melayu harus setia dan dapat dipercaya). Sifat benang arang.(anak Melayu harus jujur, sesuai antara kata dan perbuatan). Sifat tahan menentang matahari. (anak Melayu harus berani menegakkan keadilan dan kebenaran). Sifat tahu kilik elak. (anak Melayu harus bijaksana, tanggap, dan cekatan). Sifat menang dalam kalah. (anak Melayu harus rendah hati, tenggang rasa, dan bangga kepada diri sendiri) Sifat tahan berkering. (Anak Melayu harus tabah dan rajin bekerja). Sifat unjuk dengan beri. (anak Melayu harus dermawan dan setia kawan). Sifat timbang dengan sukat. (anak Melayu harus adil dan benar). Sifat tahu kan malu. (anak Melayu harus memelihara malu dalam dirinya dan tidak memalukan orang lain). Sifat nan bersifat. (anak Melayu harus menghargai dan menghormati orang lain, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya). Sifat ingat dengan minat. (anak Melayu harus ingat dan perhatian terhadap lingkungannya). Sifat pinjam memulangkan. (anak Melayu harus bersifat tanggung jawab). Sifat hidup meninggalkan. (anak Melayu harus mempunyai pandangan jauh ke depan serta berusaha meninggalkan karya, jasa, dan nama baiknya). Sifat nan pucuk atau sifat tua. (anak Melayu harus memiliki jiwa pemimpin)
Kini remaja melayu sudah jauh dari sifat kedelapan belas tersebut. Apakah karena salah kedua orang tua, instansi pendidikan ataukah lingkungan ? Yang terpenting anak tidak bisa disalahkan karena anak di ciptakan di dunia itu suci sebagaimana sabda rasullah :
“Setipa anak yang dilahirkan itu suci yang menjadikannya yahudi dan nasrani kedua orang tuanya (HR. Bukhori Muslim)
Orang tua sekarang harus lebih bekerja keras untuk menjadikan anak-anak mempunyai sifat kedelapan belas yang ada di dalam budaya melayu.  Senada dengan sifat kedalapan belas rasullah SAW bersabda :
“Bergaulah dengan anak-anak mu dan bimbinglah kepada akhlak yang mulia” (HR. Muslim)
Nilai-nilai Budi Pekerti  Remaja Melayu
Masa remaja adalah tahapan perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa, yaitu antara umur 13 hingga 18-20 tahun, pada masa ini terjadi perubahan pesat, baik secara jasmani(fisik) maupun mental, emosional dan sosial. Berdasarkan data Susenas 2011, jumlah pemuda Riau tahun 2011 mencapai 1,992,5 juta jiwa atau persen dari total penduduk yang terdiri dari 988,7 juta pemuda laki-laki dan 1,003, 8 juta pemuda perempuan[1].
Dengan jumlah yang amat besar tersebut, maka peran strategis remaja dalam membangun budaya melayu sangatlah penting. Dari gerakan remaja budaya melayu bisa berkembang, baik buruknya bangsa dapat dilihat dari generasi penerusnya. Jika generasi sekarang remaja kita berakhlak baik, maka akan baik pula daerah yang akan datang, tetapi jika remaja penerus sekarang tidak berakhlak, maka daerah melayu akan mempunyai cerninan negatif di mata masyarakat.
Nama Melayu telah dikenal dalam rentang waktu yang cukup lama. Kata atau nama Melayu telah disebut-sebut pada tahun 664/45 Masehi, dan muncul pertama kali dalam catatan (buku tamu) kerajaan China.
Melayu diartikan sebagai satu suku yang berasal dari Indalus (Sumatra) dan Seberang Sumatra (Malaka). Di Indalus atau Andalas terdapat kerajaan yang berhadapan dengan Pulau Bangka, di sana ada Sungai Tatang dan Gunung Mahameru serta sungai yang bernama ‘Melayu’. Rajanya bernama Demang Lebar Daun. Kata ‘melayu’ masih ditemui pada bahasa-bahasa di sekitar Palembang dan juga di Pulau Jawa; yang dihubungkan dengan kata ‘melaju’, atau ‘deras’,’kencang’. Kemudian ‘melayu’ dapat diartikan sungai deras aliran airnya; bisa juga ditafsirkan orang atau penduduknya pedagang yang gesit, dinamis. Melayu dapat pula berarti dagang; yang berarti orang asing. Bangsa Melayu identik sebagai seorang pedagang yang gesit. Fenomena kata ‘melayu’ yang kali kedua ini dan kemudian ditolak ukur dengan pernyataan ‘melayu’ pada poin pembahasan di pragraf sebelumnya juga sejalan dengan pernyataan dari catatan seorang biksu China bernama I tsing (Haan 1897; Schnittger 1939). Menurut catatan sang biksu, dia sempat mengunjungi Kerajaan Melayu sebanyak dua kali, yakni tahun 671 M dan 685 M.
Melayu juga diidentikan dengan Agama Islam. Yang disebut ‘orang melayu’ adalah orang yang memeluk agama Islam, berbahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu; tidak ada orang Melayu yang tidak beragam Islam.
Kerumpunan Melayu yang berkembang di Riau sangat mendominasi. Ini tidak dapat dilepaskan dari nilai sejarah pembentuknya. Kebudayaan Melayu yang begitu kental di wilayah Riau kemudian disinyalir sebagai suatu petanda sentiment yaitu tentang pusat Budaya Melayu. Oleh pemerintah setempat dan tentunya didukung oleh remaja riau, warisan Budaya Melayu yang mendominasi wilayah Riau ini menjadi sebuah proses pelacakan pusat Budaya Melayu dengan sebuah misi publik yaitu : Riau adalah pusat dari Budaya Melayu Dunia dalam masyarakat agamis pada tahun 2020 kelak. Menciptakan masyarakat agamis tersebut tidak akan terlepas dengan prilaku remaja tentang prilaku yang baik, dengan berakhlak baik riau bisa menciptakan masyarakat agamis.
Budi pekerti dalam budaya Melayu menyangkut juga budi bahasa yang bermakna keseluruhan aktivitas seseorang yang melingkupi cara bertutur kata atau berbahasa, bersikap, bekerja, berhubungan dengan orang lain (dengan teman sebaya, dengan orang yang lebih tua atau yang dituakan, juga kepada anak-anak), menjadi pemimpin dan beramal. Orang melayu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budi pekerti,  pengamalan nilai-nilai budi pekerti itu terlihat dari perilakunya seharihari.
Dalam salah satu bait Gurindam duabelas, Raja Ali Haji, budayawan Melayu abad ke-19 berpesan, “Jika hendak melihat orang berbangsa, lihat kepada budi bahasa.” Peranan budi pekerti dalam diri orang melayu sama dengan peranan akhlak karimah bagi seorang muslim. Sebagai seorang muslim yang taat, orang melayu akan mensejajarkan antara budi pekerti dengan akhlakul karimah. Bukan hal yang aneh, jika nilai-nilai budi pekerti juga banyak bersumber dari akhlakul karimah islam. Rasullah pun bersabada :
“Sesungguhnya orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhori Muslim)
Orang tua melayu juga menegaskan, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang tahu berbudi dan tahu pula membalas budi. Dalam ungkapan dikatakan, “Bila hidup berbudi, sempurnalah ia mati”, yang maksudnya bila seseorang selama hayatnya beramal saleh dengan menanam kebajikan, berbuat kebaikan dan berbudi kepada makhluk tuhan, maka pahallanya akan menyelamatkannya, baik kita di dunia maupun di akherat.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat  kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat  kerusakan”. (Al-Qashash : 77)
Visi Riau Terwujudnya Kebudayaan Melayu Dalam Lingkungan Masyarakat Yang Agamis, Sejahtera Lahir Dan Bathin, Di Asia Tenggara Tahun 2020. Dapat dikembangkan melalui pemanfaatan remaja, pendidikan akhlak yang baik kepada remaja atas peran orang tua, guru dan instansi pendidikan akan membuat remaja kita berakhlak baik sebagaimana telah diajarkan oleh rasullah.
“Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan Akhlak”               (HR. Muslim)
Jika orang tua sebagai pemantau utama tidak difungsikan, maka remaja tidak akan mempunyai akhlak yang baik. Kemudian visi Riau akan berubah. Terwujudnya kebudayaan Melayu dalam masyarakat yang tidak agamis berutal dan tidak berbudi di asia tenggara 2020. Dan visi Riau tinggal nama saja.

Konklusi  Sikap Terhadap pembentukan akhlak
              Remaja akan menjadi aktor utama dalam pentas kesejagatan (millenium ketiga), karena itu generasi muda (remaja) harus dibina dengan budaya yang kuat berintikan nilai-nilai dinamik yang relevan dengan realiti kemajuan di era globalisasi. Budaya adalah wahana kebangkitan bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kekuatan budayanya. Keutuhan budaya bertumpu kepada individu dan himpunan institusi masyarakat yang memiliki kapasitas berkemampuan dalam mempersatukan seluruh potensi yang ada.
              Perkembangan kedepan banyak ditentukan oleh peranan remaja sebagai generasi penerus dan pewaris dengan kepemilikan  ruang interaksi yang jelas menjadi agen sosialisasi guna menggerakkan kelanjutan  survival kehidupan kedepan. Kecemasan atas penyimpangan prilaku kemunduran moral dan akhlak, kehilangan kendali para remaja, sepatutnya menjadi kerisauan semua pihak. Ketahanan bangsa akan lenyap dengan lemahnya remaja. Saya tidak senang menggeneralisasi kenakalan remaja terjerumus kedalam lembah dekadensi moral dan kenakalan remaja. Analisa realitas objektif menunjukkan bahwa tidak seluruhnya remaja rusak. Dengan berpikiran positif tidak pula harus ditunggu setelah semua remaja terpuruk kedalam lumpur a-moral barulah upaya perbaikannya dilaksanakan dengan intensif.         
            Secara realitas kita tidak bisa lari dari remaja jika kita ingin menjadikan riau kelak daerah yang agamis, untuk mngembalikan remaja riau sekarang mempunyai sifat nan delapan belas harus ada upaya dalam merubahnya, kebiasaan yang telah di tinggalkan tapi mempunyai nilai pendidikan penting bagi remaja yaitu “Gerakan magrib Menngaji”.
Budaya maghrib mengaji di kalangan masyarakat perlu dihidupkan kembali, sebab saat ini kebiasaan umat muslim tersebut sudah mengalami penurunan. “Kebiasaan maghrib mengaji sudah mulai hilang di kalangan masyarakat, khususnya bagi para remaja. Kalau dulu biasanya orang tua selalu menyuruh anaknya membaca Al Quran usai melaksanakan ibadah maghrib,”
Melalui Gemar Mengaji setiap maghrib anak-anak diajak untuk mengaji dan menyimak Al Quran dan kandungannya. Langkah tersebut diyakini akan mampu menciptakan generasi yang penuh kasih sayang, hormat menghormati, berbudi pekerti tinggi sebagaimana nilai-nilai yang diajarkan dalam Al Quran. “Saat ini anak-anak atau remaja sedang tumbuh berkembang di tengah arus globalisasi dan liberalisasi yang dengan deras masuk serta mempengaruhi pemikiran para generasi muda melalui berbagai penjuru. Oleh sebab itu salah satu cara untuk menyaring hal negatif melalui budaya mengaji,”.
Dengan terus meningkatkan dan mengajarkan nilai-nilai Al Quran diharapkan akan mampu menjadi salah satu panangkal masuknya beberapa pemahaman yang bertentangan dengan nilai dan norma agama maupun sosial.
Banyak generasi muda cenderung ingin sukses secara singkat tanpa menghargai proses, sehingga yang terjadi adalah generasi yang kurang memiliki ketahanan mental sebagaimana yang diharapkan. “Sehingga pendidikan berbasis Al Quran harus terus dikembangkan dan didukung oleh seluruh pemangku jabatan terkait gerakan tersebut sangat strategis untuk menghidupkan kembali tradisi membaca Al Quran yang pernah dilakukan terutama di kampung-kampung, di tengah kesibukan dan perubahan jaman yang seolah-olah menenggelamkan budaya mengaji.
Tayangan televisi di waktu Maghrib telah menghipnotis masyarakat, khususnya anak-anak. Stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan program unggulannya –sinetron, film, kartun, realty show, dan lainnya-- demi menarik pemirsa di waktu prime time itu. Tak heran jika anak-anak sulit beranjak dari depan televisi kendati adzan Maghrib telah berkumandang.
Dampak televisi terhadap perkembangan masyarakat memang sangat besar. Secara teoritis, menurut seorang pakar, ada tiga dampak yang ditimbulkan tayangan televisi terhadap pemirsa, yaitu dampak kognitif, dampak peniruan, dan dampak perilaku.
Dahulu, sebelum televisi hadir di tengah kehidupan masyarakat,  kebiasaan mengaji setelah Maghrib di rumah, surau atau masjid menjadi tradisi masyarakat Islam. Namun sekarang, budaya tersebut perlahan-lahan hilang. Dan hanya sedikit saja yang masih menerapkannya.
Untuk mengembalikan tradisi yang hilang, marilah kita canangkan program Gerakan Masyarakat Magrib Mengaji (GEMMAR).  Program ini merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang agamis.
Jika dapat terlaksana dengan baik, maka program ini dapat membantu membangun karakter bangsa yang agamis. Dalam suasana yang agamis diharapkan lahir generasi bangsa yang mampu membaca, memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an.
           
Penutup
            Petuah  orang melayu dalam nilai-nilai tunjuk ajar  budi pekerti  remaja sejatinya sangat berguna, manusia modern tak jarang menganggapnya hanya sebagai pengajaran yang kuno dan ketinggalan zaman, padahal keberadaannya begitu penting untuk menepis arus globalisasi zaman sekarang agar terhindar dari degradasi akhlak, Sebab, takkan pernah ada masa kini tanpa adanya masa lalu. Tanpa mempelajari masa lalu kita tidak akan mengetahui sejarah kebudayaan kita. Apalagi Riau akan menciptakan masyarakat agamis 2020



Minggu, 06 November 2011

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Berbicara mengenai perubahan tentu sudah dapat terbayangkan terjadinya dari hal yang positif ke negatif atau sebaliknya dari negative ke positif,namun itu semua tidak mudah tentunya akan mendapatkan hambatan dan sebuah tantangan.Dalam konteks untuk menemukan konsep pendidikan Islam ideal,maka menjadi tanggung jawab moral bagi setiap pakar muslim untuk membangun teori Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan.Islam sebagai paradigma pendidikan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan paradigma-paradigma lainnya yang mendasari konsep-konsep pendidikan.Dewasa ini khususnya di Indonesia system pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah merupakan bentuk adopsi sistematik dari system pendidikan Barat’sekuler’.
Diantara belitan berbagai persoalan besar,ia dihadapkan pula pada berbagai persoalan tantangan dan prospek ke depan.Mampukah Pendidikan Islam keluar dari belitan permasalahn tersebut dan ikut ambil bagian secara aktif dalam hiruk-pikuknya lalu-lintas perubahan intelektual dan Socio Cultural Global Village dewasa ini. Adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis di berbagai bidang dalam sinaran dan terintegrasi dengan Islam, merupakan kata kunci yang harus di percepat prosesnya,baik pada dataran teoritis maupun praktis. Berbicara tentang Pendidikan Islam atau pendidikan yang ada dan berkembang di Negara-negara Muslim pada abad XXI, baik system, tujuan sampai pada dataran operasionalnya masih menjadi bahan kajian di kalangan para ahli pendidikan Islam.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya silang pemikiran tersebut.ialah:
1.      Pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan Islam yang sekarang dikembangkan baik system maupun substansinya adalah cenderung diadopsi dari Barat. Kalaupun muncul gagasan-gagasan baru yang lahir dari pemikir-pemikir Muslim, hal tersebut dianggap hanya bersifat penutup belaka. Dengan kata lain,melepaskan diri sama sekali dari pengaruh Barat adalah suatu hal tidak mungkin.Harus diakui bahwa sebagia besar Negara Islam masihmerupakan Negara Dunia ketiga (miskin atau masih berkembang),yang saat ini masih tertinggal beberapa langkah dari kemajuan yang dicapai oleh Negara-negara Barat,yang mau tidak mau jalur tersebut harus dilalui oleh Negara Muslim.
2.      Karya-karya klasik pada masa kejayaan Islam yang merupakan pemikiran pendidikan Islam yang komprehensif cukup jarang dijumpai

B. Permasalahan
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa persoalan/permasalahan,yakni:
1. Pengertian  pendidikan Islam  dan situasi social cultural saat ini
2. Problem-problem yang mewarnai dunia pendidikan Islam

















BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang mendapat banyak perhatian dari para ilmuwan. Bagi mereka yang akan terjun ke dalam bidang pendidikan Islam harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan sesuai dengan tuntutan zaman.[1]
Dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan perbuatan (cara,hal,dan sebagainya) mendidik,dan bererti pula pengetahuan tentang mendidik atau pemeliharaan badan,bathin dan sebagainya,
Dalam bahasa Arab,para pakar pendidikan pada umumnya menggunakan kata tarbiyah untuk arti pendidikan.Adapun pengertian pendidikan menurut istilah dapat merujuk kepada beerbagai sumber yang diberikan para ahli pendidikan.Dalam undang-undang tentang System Pendidikan Nasional (UU RI No.2 Th.1989) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,pengajaran,dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Selanjutnya, Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan bathin,karakter),pikiran (intellect) dan tubuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan  hidup,yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.[2]
Dari dua definisi tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan adalah merupakan suatu usaha atau proses yang ditujukan untuk membina kwalitas sumber daya manusia seutuhya agar dia dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal.
Dengan demikian,pendidikan pada intinya menolong manusia agar dapat menunjukkan eksistensinya secara fungsional di tengah-tengah kehidupan manusia.
Adapun Islam berasal dari bahasa Arab aslama,yuslimu,islaman yang berarti berserah diri,patuh dan tunduk.Kata aslama tersebut pada mulanya berasal dari salima,yang berarti selamat,sentosa dan damai.Pengertian Islam dari segi kebahasaan ini sudah mengacu kepada misi Islam itu sendiri yaitu mengajak manusia agar hidup aman,damai dan selamat dunia akhirat dengan cara patuh dan tunduk kepada Allah,yang selanjutnya upaya ini disebut ibadah.[3]
Selanjutnya,jika pendidikan dan Islam disatukan menjadi Pendidikan Islam,artinya secara sederhana adalah pendidikan yang berdasrkan ajaran Islam denganciri-cirinya,yaitu memiliki ajaran tauhid dan persatuan,memuliakan manusia,memandang hukum alam sebagai ketentuan Tuhan.
Secara sederhana,istilah pendidikan Islam dapat dipahami dalam beberapa pengertian, yaitu:
1.      Pendidikan menurut Islam atau Pendidikan Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya,yaitu Alquran dan Sunnah.Dalam pengertian yang pertama ini pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut. Dalam realitasnya,pendidikan yang dibangun dan dikembangkan dari kedua sumber tersebut terdapat beberapa visi,yaitu
a.       Pemikiran,teori dan penyelenggaraannya melepaskan diri dan/atau kurang mempertimbangkan situasi konkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim yang mengitarinya
b.      Pemikiran,teori dan praktikpenyelenggaraanya hanya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual ulama klasik.
c.       Pemikiran teori dan praktik penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan situasi sosio-historis dan cultural masyarakat kontemporer,dan melepaskan diri dari pengalam dan khazanah intelektual ulama klasik.
d.      Pemikiran,teori dan praktik penyelenggaraannya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati situasi sosio-historis dan cultural masyarakat kontemporer.
2.      Pendidikan keislaman atau Pendidikan Agama Islam,yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya,agar menjadi pandangan dan sikap hidup seseorang.Dalam pengertian yang kedua ini pendidikan Islam dapat berwujud:
a.       Segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk membantu seorang atau kelompok peserta didik dalam menanamkan dan menumbuhkembangan ajaran Islam dan nilai-nilainya.
b.      Segenap fenomena atau peritiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya atau tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada slah satu atau beberapa pihak.
3.      Pendidikan dalam Islam,atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam.Dalam arti proses bertumbuhkembangnya Islam dan umatnya, baik Islam sebagai agama,ajaran maupun system budaya dan peradaban,sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang.Jadi,dlam pengertian yang ketiga ini istilah Pendidikan Islam dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama,budaya dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.
Walaupun istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami secara berbeda,namun pada hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud secara operasional dalam satu system yang utuh,dengan demikian dapat dipahami bahwa hakikat pendidikan Islam tersebut konsep dasarnya dapat dipahami dan dianalisis serta dikembangkan dari Alquran dan As-sunnah.
Dan tujuan utama dari pendidikan Islam itu sendiri ialah untuk memebentuk akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral,laki-laki maupun wanita,jiwa yang bersih,kemauan yang keras,cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi,tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya,menghormati hak-hak manusia,tahu membedakan buruk dengan baik,memilih suatu fadhilah karena cinta pada fadhilah,menghindari suatu perbuatan yang tercela karena ia tercela,dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaannya yang dilakukan.

B.Situasi Social-Kultural
Situasi dunia secara umum dapat digambarkan bahwa,muncul perjuangan-perjuangan dan konflik dalam masyarakat dunia kita yang mengambil bentuk-bentuk regional pada semua level,baik ekonomi,politik dan budaya.Konflik yang secara luas terjadi antara budaya barat yang dominan dengan trdisi ilmu pengetahuan dan teknologi,dengan kultur non-Barat yang masih bersifat per-industrial,yang masih rendah tingkat penguasaannya terhadap alam.Bagaikan obat pahit yang menyembuhkan,namun banyak yang tidak mau menelannya.Karena itu diperlukan system dan metode yang menarik.
Dalam menghadapi pergeseran nilai-nilai cultural yang transisional dari dunia kehidupan,belum menemukan pemukiman mapan.Pendidikan Islam dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orientasi baru yang relevan dengann tuntutan zaman.Justru pendidikan Islam membawakan prinsip dan nilai absolutisme yang bersifat mengarahkan tren perubahan sosio-kultural.

C. Problem-problem yang mewarnai Pendidikan
Beberapa problem utama yang mewarnai atmosfer dunia pendidikan Islam pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam lima hal.Jika di analisis,maka dapat disimpulkan bahwa problem-problem tersebut merupakan rangkaian yang saling terkait dan berjalan secara bersama.Persoalan-persoalan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan Islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek yaitu;antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum,antara Wahyu dengan Akal serta antara Wahyu dengan Alam
Pandangan yang dikotomis tersebut pada giliran selanjutnya dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat,kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja.
Munculnya masalah dikhotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama.Boleh dibilang gejala ini sudah mulai tampak pada masa-masa pertengahan.Pada periode pertengahan,lembaga pendidikan Islam (terutama Madrasah sebagai pendidikan tinggi) tidak pernah menjadi universitas yang di fungsikan semata-mata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar.Ia banyak diabdikan kepada ilmu-ilmu agama dengan penekanan pada fiqh,tafsir dan hadist.Sementara ilmu-ilmu non agama (keduniaan),terutama ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai akar pengembangan sains dan teknologi,sejak awal perkembangan Madrasah dan al-Jamia’h sudah berada dalam posisi marginal.
Islam memang tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum (keduniaan),dan/atau tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan.Namun demikian,dalam realitas sejarahnya justru supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama sebagai jalan tol untuk menuju Tuhan.Untuk itu dikhotomi dalam pendidikan Islam perlu dihapuskan,sebab dengan menerima prinsip ini,maka pendidikan Islam hanya akan melahirkan manusia-manusia Muslim yang terpecah kepribadiannya,di masjid atau di langgar mereka bersikap alim,sementara di pasar,di pabrik dan di masyarakat luas mereka tampil sebagai orang asing yang tidak punya orientasi moral,kepedulian social,kasih saying,kejujuran dan tanggung jawab.
Menurut Ma’arif diterimanya prinsip dikhotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu agama sebenarnya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.Keduanya amat diperlukan dalam rangka penunaian tugas dan peran manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.Di sisi lain,Islam adalah serangkaian pengetahuan yang di anugerahkan kepada manusia oleh Allah sebagai sumber dari segala sumber pengetahuan.
Ketika membandingkan pendidikan Islam dengan pendidikan umum,Azra menyebutkan ada enam  karakteristik yang dimiliki pendidikan Islam :
  1. Penguasaan ilmu pengetahuan Ajaran Islam mewajibkan umatnya mencari ilmu pengetahuan
  2. Pengembangan ilmu pengetahuan,ilmu yang telah dikuasai harus diberikan dan dikembangkan kepada orang lain.
  3. Penekanan pada nilai-nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan tersebut itu hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum.
  4. Penyesuaian pada perkembangan anak
  5. Pengembangan kepribadian,pengembangan aspek ini berkaitan dengan seluruh nilai dan system Islam sehingga peserta didik diarhkan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.
  6. Penekanan pada amal saleh dantanggung jawab.Setiap peserta didik diberikan semangat dan dorongan untuk mengamalkan ilmunya sehingga benar-benar bemanfaat bagi diri,keluarga dam masyarakat secara keseluruhan.
2) To General Knowledge
Kelemahan dunia pendidikan Islam berikutnya adalah sifat pengetahuannya yang masih terlalu general atau umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah.Syed H.Alatas menyatakan bahwa,kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan,mendefinisikan,menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/atau pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah intelektual.Ia menambahkan,ciri yang terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemauan untuk berfikir dan ketidakmampauan untuk melihat konsekuensinya.
3) Lack of Spirit of Inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi faktor penghambat kemajuan dunia pendidikan Islam adalah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian.Pendidikan model Barat di masa kolonial merupakan suatu bentuk imitasi dari Westernisasi.Dalam masyarakat Muslim dimana lembaga-lembaga pendidikan tinggi memiliki akar kuat terhadap cara-cara belajar hafalan,isi ( content) dan sains-sains positif yang diadopsi dari Eropa tetap diajarkan dengan model hafalan.
4) Memorisasi
Kemerosotan secara gradual (perlahan) dari standar-standar akademis yang berlansung selama berabad-abad tentunya terletak pada bahwa,karena jumlah buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali,maka waktu yang dipelukan untuk belajar juga terlau singkat bagi siswa-siswa untuk dapat menguasai materi yang seringkali sulit untuk dimengerti.Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan system hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya.
Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang akhir yang menghasilkan jumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinil.Fenomena ini berkembang secara fundamental dari kebiasaan-kebiasaan berkonsentrasipada buku dan bukan pada pelajaran.
5) Certificate Oriented
Diantara semua atau masyarakat,orang-orang Islam memiliki keunikan dalam mengembangkan sains (ilm) terhadap penyebarluasan tradisi keagamaan (hadith).Bagi muslim yang saleh ilmu hadith telah menjadi ilmu yang par excelence.Hal tersebut menjadi sesuatu yang mendasari tugas bagi mereka yang disebut ilmuwan,dalam merespon salah satu hadist nabi yang cukup kondang “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”) menempuh perjalanan jauh dan melelahkan hingga ke luar wilayah kekhalifahan.
Perjalanan tersebut memiliki derajat yang tinggi diantara perbuatan-perbuatan yang saleh,barang siapa yang mati dalam perjalanan mencari ilmu adalah seperti mereka yang mati syahid di medan perang suci.Semangat inilah yang menjadi pola yang diterapkan dan dikembangkan pada masa-masa awal Islam dalam pencarian,pengumpulan dan penyeleksian Hadith menjadi suatu disiplin yang memenuhi kriteria-kriteria ilmiah.
1.      Faktor-Faktor Internal Dalam Pendidikan Islam,Yaitu :
Pertama, meliputi manajemen pendidikan Islam yang terletak pada ketidak jelasan tujuan yang hendak di capai, ketidak serasian kurikulum terhadap kebutuhan masyarakat, kurangnya tenaga pendidik yang berkualitas dan profesional, terjadinya salah pengukuran terhadap hasil pendidikan serta masih belum jelasnya landasan yang di pergunakan untuk menetapkan jenjang-jenjang tingkat pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga keperguruan tinggi. (Abidin : 2010)
Menurut Moh Raqib bahwa  problem mutu lulusan lembaga pendidikan islam selama ini adalah alumni yang bisa dibilang tidak atau kurang kreatif. Indikasi hal tersebut tampak pada alumni yang relative banyak tidak mendapat lapangan kerja dan lebih mengandalkan untuk menjadi PNS sementara lowongan kerja untuk PNS sangat terbatas. Ini menunjukkan rendahnya kreatifitas untuk menciptakan lowongan kerja sendiri. (Raqib: 89).
Tentunya fenomena ketidakkreatifan peserta didik tentu saja tidak lepas dari system pendidikan dan pembelajaran yang ada di lembaga pendidikan yang memenag sering kali tidak menekankan peserta didik untuk bersikap kreatif. Padahal menegemen siswa yang meliputi pengolahan siswa menjadi output yang menarik itu penting. Hal ini menunjukkan bahwa menegemen pendidikan dalam lembaga pendidikan islam pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas.
Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Para guru seharusnya mempunyai kompetensi padagogik , kepribadian, profesional, dan sosial. (Qurroti : Scirbd.com ).  Faktanya tak jarang ditemui guru mengeluhkan nasibnya yang buruk, guru tidak berkompeten untuk melakukan pengarahan; dan guru yang merasa bahwa tugasnya hanya mengajar..
Ketiga, faktor pemimpin sekolah yang lemah dalam komunikasi dan negosiasi. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
2.      Faktor-Faktor Eksternal Yang Dihadapi Pendidikan Islam
Pertama, adanya perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap pendidikan Islam. Alokasi dana yang diberikan pemerintah sangat jauh perbedaannya dengan pendidikan yang berada di lingkungan Diknas. Terlepas itu semua, apakah itu urusan Depag atau Depdiknas, mestinya alokasi anggaran negara pada pendidikan Islam tidak terjadi kesenjangan, Padahal pendidikan Islam juga bermisi untuk mencerdaskan bangsa, sebagaimana juga misi yang diemban oleh pendidikan umum.
Kedua, dapat dikatakan bahwa paradigma birokrasi tentang pendidikan Islam selama ini lebih didominasi oleh pendekatan sektoral dan bukan pendekatan fungsional. Pendidikan Islam tidak dianggap bagian dari sektor pendidikan lantaran urusannya tidak di bawah Depdiknas. Dan lebih tragis lagi adalah sikap diskriminatif terhadap prodak atau lulusan pendidikan Islam.
Ketiga ,dapat di katakan bahwa paradigm masyarakat terhadap lembaga pendidikan islam masih sebelah mata. Lembaga pendidikan Islam  merupakan alternatif terakhir setelah tidak dapat diterima di lembaga pendidikan di lingkungan Diknas, itulah yang sering kita temui di sebagian masyarakat kita. Pandangan masyarakat yang demikian menjadi indicator rendahnya kepercayaan mereka terhadap lemabga pendidikan islam.
Posisi dan peran pendidikan Islam dengan keragaman lembaga yang dimilikinya masih dipertanyakan. Seharusnya: Pendidikan Islam mampu menjalankan perannya sebagai pendidikan alternatif yang menjanjikan masa depan. Tapi faktanya, Kehadiran madrasah, sekolah dan perguruan tinggi Islam cenderung berafiliasi pada ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan Persis atau badan-badan/ yayasan-yayasan Perguruan Islam. Yang Lebih parah lagi, kasus teroris yang dalam kisah pendidikannya ada lulusan sekolah Isalm. Ini mungkin menjadi alas an yang tidak cukup kuat, tetapi begitulah sebagian perspektif masyarakat yang ada.Dengan demikian tugas Lembaga Pendidikan Islam yang ada di Indonesia untuk menghasilkan output pendidikan yang tidak sekedar berkualiatas iman,tetapi juga ilmu bisa terwujud.
Diharapkan adanya usaha sekolah-sekolah dan instansi terkait dengan dengan pendidikan Islam untuk meciptakan pendidikan islam yang ideal, yaitu pendidikan islam yang membina potensi spiritual,  emosional dan intelegensia secara optimal (Miftah: 2010). Ketiganya terintegrasi dalam satu lingkaran.yang akhirnya membentuk paradigma baru di masyarakat tentang kualitas yang menarik dari sekolah-seolah Islam.
Dengan demikian sikap diskriminatif dan masalah paradigm yang buruk tentang kualitas pendidikan di Sekolah Islam dapat perlahan berubah. Tentunya melalui konsep integrated curriculum, proses pendidikan memberikan penyeimbangan antara kajian-kajian agama dengan kajian lain [non-agama] dalam pendidikan Islam yang merupakan suatu keharusan, menciptakan output pendidikan yang baik, apabila menginginkan pendidikan Islam kembali survive di tengah perubahan masyarakat.










BAB III
PENUTUP


  1. Kesimpulan
Dalam menghadapi sebuah perubahan pastilah akan terdapat beberapa masalah atau problematika,untuk itu diperlukan peran aktif dari semua pihak.Begitu juga dengan Pendidikan Islam dalam menapak sebuah perubahan,banyak sekali mengalami kendala dan tantangan.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mengajarkan tentang nilai-nilai agama,di mana dia mempunyai tujuan tersendiri yaitu megajarkan manusia tentang budi pekerti,makhluk yang saling mengasihi dll.
Problem yang sering dihadapi oleh dunia pendidikan terutama pendidikan Islam adalah masih berbaurnya unsur Barat,mulai dari lembaga pendidikan hingga system pendidikannya,untuk itu sangat diperlukan sekali campur tangan dari masyarakat Muslim untuk membenahinya.
  1. Saran
Dari Pemaparan diatas kami selaku pemakalah, meminta kepada para pembaca untuk bisa bersama-sama membenahi problem pendidikan Islam yang sudah tercampur aduk oleh budaya barat, . Dan akhirnya kami selaku pemakalah untuk sekedar berbagi Pengetahuan, jika terdapat kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini kami terima dengan senang hati.









DAFTAR PUSTAKA


Al-Abrasyi,Athiyah,Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,Jakarta:Bulan
            Bintang,1969
Arifin,Muzayyin,Kapita Selekta Pendidikan Islam,Jakarta:Bumi Aksara,2003
Ismail,et.al.Paradigma Pendidikan Islam,Semarang:Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo,2001
Muhaimin,et.al,Paradigma Pendidikan Islam,Bandung:PT.Remaja Rosda
Karya,2001
Muqowim,Jurnal Pendidikan Islam Ta’dib,Palembang:IAIN Raden Fatah
Press,2001
Nata,Abuddin,Metodologi Studi Islam,Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,1998



[1] Ismail SM,,et al,Paradigma Pendidikan Islam,(Semarang:Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo,2001) hal,3
[2] Abuddin Nata,Metodologi Studi Islam,(Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,1998),hal.333-339
[3] Ibrohim, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya : Appolo). Hal : 20