Sabtu, 25 Juni 2011

KORUPSI DI INDONESIA MENJAMUR : PERSPEKTIF AL-QUR’AN TENTANG PEMBERANTASAN KORUPSI

Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu Negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alam, tapi ironisnya, negara tercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin, mengapa demikian ? salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusiaanya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas keperibadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.
Akhir – akhir ini masalah korupsi sedang hangat-hangatnya dibacarakan publik, dari media cetak lokal maupun nasional hingga media elektronik. Hukum di tanah air kita kembali dipertaruhkan setelah heboh kasus pengkapan Mantan Kapolri Rusdihardjo ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua. 16 Januari 2008 Terlibat kasus dugaan korupsi pada pungli pada pengurusan dokumen keimigrasian saat menjabat sebagai Duta Besar RI di Malaysia. Dugaan kerugian negara yang diakibatkan Rusdihardjo sebesar 6.150.051 ringgit Malaysia atau sekitar Rp15 miliar. Rusdiharjo telah di vonis pengadilan Tipikor selama 2 tahun. kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang merugikan negara sampai 17 Triliun, Kasus Hakim Syarifuddin (Pengadilan negeri Jakarta Pusat) terkait dengan dugaan suap sebesar Rp 250 Juta ketika mengani aset PT SCI dalam perkara pailit dari curator puguh.
Kini aparat di negara kita dihadapkan pada keseriusan mereka dalam menangkap dan membawa pulang Nazaruddin dan Nunun Nurbaeti yang kini berada di singapura, Nazarudin adalah Politisi dan bendaharawan umum Partai Demokrat, dia terlibat kasus pada pembangunan wisma atlet SEA Games 2011 di Palembang, Sumatra Selatan. Wisma Atlet untuk SEA Games itu berkapasitas 4.000 orang menelan anggaran 191 miliar. Sementara Nunun Nurbaeti tersangka kasus travel cek dan diduga terlibat kasus suap pemilihan DGS BI. Dan dia di duga memberikan sesuatu kepada anggota DPR peroide 1999-2004.
Kalau secara nasional kita heboh dengan kasus-kasus yang telah di paparkan di atas, maka di tingkat lokal pihak aparat di riau juga punya PR yang belum selesai, dimana sejak desember 2009 lalu pihak kejati Riau telah menyebarkan foto tiga buronan korupsi yang telah ditetapkan menjadi DPO di tempat keramaian dan Bandara Sultan Syarief Kasim (SSK) II. Sejak saat itu kejati Riau baru berhasil menangkap satu dari tiga DPO korupsi itu, Yakni, Ir EH Daulay. Ketiga DPO tersebut sudah divonis oleh mahkamah agung (MA) RI. DPO Ramlan Zas diburu karena kasus korupsi dana tak terduga APBD Rohul senilai Rp. 9,5 miliar dan di vonis hukuman 1 tahun penjara. Ramlan Zas kabur saat dirinya sudah divonis oleh pengadilan Tinggi (PT) Riau sejak 2008. Ir EH Daulay divonis 6 tahun penjara dalam perkara korupsi senilai Rp 50 miliar. Daulay kabur setelah vonis MA tahun 2007, dan dapat di tangkap pada 14 Juli 2010, sedangkan DPO Nader Taher, MA menjatuhi vonis 14 tahun penjara dalam perkara kredit macet Bank mandiri senilai Rp 28,87 miliar, dan kabur sejak tahun 2008.
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi sosial yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian materil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang lebih memperhatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legslatif dengan dalih studi banding dan Tunjangan.
Korupsi telah menjadi persoalan yang amat kronis, ibarat penyakit, korupsi telah menyebar ke seantero negeri dari kalangan RT hingga Penjabat Tinggi yang duduk di kabinet, dari tahun ke tahun korupsi di Indonesia cenderung meningkat, padahal Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia, logikanya, sebagai negara muslim terbesar, aspek moral dan relegiusitas menjadi control sosial bagi masyarakat termasuk penjabat negara, sehingga mereka takut untuk melakukan korupsi. Sayangnya, aspek moral dan relegiusitas tidak mampu hidir sebagai control sosial. Yang ada justru korupsi yang kian menjamur.
Ironis memang, di Indonesia negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual ini pernah meraih peringkat pertama sebagai Negara terkorup di Asia dan Negara paling lamban yang keluar dari krisis dibandingkan negara-negara tetangganya. Sebagai umat Islam sudah selayaknya kita menangani permasalahan tersebut dilihat dari sudut pandang Islam dengan dalil- dalil Al-qur’an.
Adalah suatu hal yang naif apabila kenyataan ironis di atas ditimpakan kepada Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk. Yang perlu dikritisi di sini ialah orientasi keberagamaan kita yang menekankan kesalehan ritual-formal dengan mengabaikan kesalehan moral-individual dan sosial. Model beragama seperti ini memang sulit untuk dapat mencegah pemeluknya dari perilaku-perilaku buruk, seperti korupsi. Padahal dalam perspektif ajaran Islam, korupsi merupakan perbuatan terkutuk, karena dampak buruk yang ditimbulkannya bagi suatu masyarakat dan bangsa sangatlah serius.
Oleh karena itu, karya ilmiah ini akan mengkaji bagaiman perspektif al-qur’an tentang pemberantasan korupsi di indonesia, tulisan ini mengasumsi sedikitnya nilai relegius para koruptor, padahal al-qur’an mengharamkan mengambil sesuatu yang bukan miliknya dan ada yang salah dalam memahami korupsi di Indonesia yang disebabkan oleh penentuan metodelogi pemaknaan / pendefiniian yang tidak tepat sehingga upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan di indonesia hingga sekarang ini tetap tidak memuaskan.

Ontologi Korupsi dan tindak pidana Korupsi
Kata korupsi sebagaimana yang diketahui oleh banyak orang sekarang ini berasal dari bahasa Inggris corruption. Sebetulnya kata corruption tersebut berasal dari kata dalam bahasa Latin “corruptus” yang berartia“merusak habis-habisan”. Kata „corruptus itu sendiri berasal dari kata dasar corrumpere, yang tersusun dari kata com (yang berarti „menyeluruh) dan rumpere yang berarti merusak secara total kepercayaan khalayak kepada si pelaku yang tak jujur itu .
Menurut Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa & Moh. Yamin, 1987 : 6), pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang tindak pidana korupsi adalah “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” atau “perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Termasuk dalam pengertian tindak korupsi adalah suap terhadap pejabat atau pegawai negeri.
Kedua pengertian tersebut hanyalah dapat dimengerti dengan baik oleh para ahli hukum atau pejabat dalam bidang hukum. Kalangan awam menganggap bahwa pengertian korupsi bisa jauh lebih luas dari itu, yaitu segala perbuatan tercela yang dilakukan oleh pejabat dan pegawai negeri yang terkait dengan kekayaan negara. Apakah perbuatan itu merugikan negara atau tidak, hal itu bukanlah persoalan utama.
Untuk mengkaji lebih jauh, kita merujuk pada apa yang dimaksud korupsi dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidan korupsi. Beberapa kata kunci yang merupakan unsur tindak pidana yang perlu didalami yaitu kata-kata :
- “perbuatan”,
- “melawan hukum”,
- “memperkaya diri sendiri atau orang lain”,
- “merugikan keuangangan/perekonomian negara”,
- “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya,
- “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.
Persoalannya adalah apakah seluruh rangkaian “gambaran” atau “bayangan” dalam rumusan tersebut sudah mewakili pemahaman kita yang benar bahwa hal itu adalah korupsi? Atau ada yang salah dari penggambaran tersebut. Karena itu perlu dikaji lebih dahulu tentang hakekat atau makna dari penggambaran tersebut secara lebih mendalam.
Korupsi adalah rangkaian unsur-unsur (rumusan) yang tertulis dalam undang yang dicocokan dengan tindakan seseorang pada situasi konktrit. Rumusan dan unsur-unsur tersebut masih merupakan “gambaran” atau “bayangan”, yang masih berada dalam pikiran atau idea yang ditulis, dipositifkan dan dianggap sebagai sesuatu kebenaran. Rangkaian perbuatan konkrit dari “gambaran” atau “bayangan” tersebut adalah merupakan kejahatan, karena itu yang melakukannya dikenai hukuman. Apakah betul rangkaian perbuatan tersebut adalah kejahatan? Dalam kerangka paham positivis “gambaran” atau “bayangan” tersebut dianggap benar dan dijadikan landasan dalam mengambil putusan bahwa perbuatan konkrit atas penggambaran tersebut adalah “kejahatan”, tidak perduli apakah gambaran tersebut bertentangan atau tidak dengan etika atau moralitas dalam masyarakat. Etika dan moralitas menurut pandangan positivis berada di luar sisi hukum dalam penerapannya. Karena itu dari sisi pandangan positivis hal itu tidak perlu dibahas lebih jauh kecuali untuk keperluan ius constituendum (hukum yang dicita-citakan). Sebaliknya walaupun suatu perbuatan seorang pejabat atau pegawai negeri yang oleh masyarakat dianggap tercela tidak dapat dikatakan sebagai korupsi apabila tidak memenuhi unsur-unsur yang ditulis dalam undang-undang atau sedemikian rupa tidak dapat ditafsirkan sehingga cocok dengan rumusan undang-undang. Inilah hal pertama yang harus dipahami tentang korupsi.
Apa yang dimaksud “perbuatan”, tentunya semua orang memahaminya, Yang menjadi soal adalah apakah yang dimaksud adalah perbuatan “aktif” saja atau perbuatan “pasif” (atau tidak berbuat). Memperhatikan rumusan berikutnya yaitu “memperkaya diri sendiri atau orang lain”, atau “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”, yang merupakan kata kerja maka dapat dipastikan bahwa yang dimkasud itu adalah perbuatan aktif.”. Dengan demikian perbuatan seseorang baru dikategorikan korupsi apabila melakukan perbuatan aktif saja dan tidak termasuk perbuatan pasif. Artinya; jika terjadi kerugian negara yang menguntungkan seorang pejabat negara atau orang lain dan dipastikan bukan karena perbuatan aktif dari pejabat negara tersebut , maka si pejabat negara itu tidak melakukan perbuatan korupsi. “Perbuatan” itu juga harus memperkaya diri sendiri atau orang lain. Karena penggunaan kata “atau” antara diri sendiri dan orang lain maka rumusan ini bersifat alternatif. Dengan demikian memperkaya orang lain saja walaupun tidak memperkaya diri sendiri adalah termasuk dalam pengertian korupsi ini.
Unsur selanjutnya adalah “melawan hukum”. Artinya perbuatan yang dilakukan untuk meperkaya diri sendiri atau orang lain itu adalah merupakan perbuatan “melawan hukum”. Apa yang dimkasud dengan “melawan hukum”, kembali pada pengertian apa yang dimaksud dengan hukum itu. Dalam kerangka pandangan positivis, hukum itu hanyalah undang-undang atau peraturan perundanga-undangan yang telah diotorisasi/disahkan oleh yang berwenang, di luar itu bukan hukum. Hukum pidana memberikan batasan yang sangat kaku terhadap apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum itu, karena terikat oleh asas “nullum delictum”, yaitu suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana sebelum diatur dalam undang-undang hukum pidana. Walaupun dalam perkembangan terakhir apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum ini tidak saja perbuatan yang melanggar hukum tertulis tetapi juga hukum yang tidak tertulis (baca Indriarto Seno Adji : 2001). Perluasan pengertian ini telah dimuat secara tegas dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Disamping itu suatu perbuatan yang tidak melawan hukum tetapi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya untuk tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, juga adalah termasuk perbuatan korupsi.
Adanya kata-kata “merugikan perekonomian negara” memberikan perluasan makna kerugian negara, yaitu baik dalam arti sempit merugikan keuangan negara pada umumnya termasuk kerugian pada badan-badan usaha milik negara atau proyek-proyek yang dibiayai dari anggaran negara, juga kerugian terhadap pereknomian negara secara umum. Artinya akibat perbuatan itu mengganggu perekonomian negara atau membuat kondisi perekonomian negara tidak stabil atau mengganggu kebijakan perekonomian negara. Kesemuanya dianggap telah merugikan negara.
Dengan batasan pengertian korupsi yang demikian belum tentu sudah mengakomodir seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap sebagai korupsi. Seperti yang ditulis oleh Jeremy Pope (Jeremy Pope, 2003 : 31) ternyata bahwa pandangan responden tentang apa yang disebut “korup” dan apa yang tidak sangat berbeda satu sama lain. Seperti dalam laporan penelitian di New South Wales, Australia, dikatakan “penting sekali bagi semua orang yang ingin turut mengurangi korupsi untuk menyadari bahwa apa yang diartikan sebagai perilaku korupsi akan berbeda-beda dari satu responden ke responden lain. Bahkan konvensi PBB mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berani memberikan definisi tentang apa yang disebut korupsi apa yang tidak merupakan korupsi. Karena itu upaya pemberantasan korupsi semakin sulit karena tidak ada pengertian yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan korupsi.
Demikian juga halnya di Indonesia dengan rumusan, yang demikian rigid dapat mempersempit arti apa yang dimaksud perbuatan korupsi. Karena pengertian yang sempit itu, seorang pejabat atau pegawai negeri yang sebenarnya telah melakukan perbuatan tercela yang seharusnya diputuskan/divonis korupsi, tapi bisa dilepaskan dari tuntutan hukum. Sebaliknya dengan rumusan yang demikian juga dapat memperluas apa yang dimaksud korpsi, sehingga orang-orang yang sebenarnya bekerja baik dan efektif serta efisien, karena dianggap merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain walaupun dirinya tetap hidup miskin dapat divonis sebagai korupsi padahal bisa jadi tidak ada sedikitpun maksud dari yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan tercela yang berupa korupsi. Karena itu, sebenarnya inti dari “perbuatan korupsi” adalah “perbuatan tercela”. Untuk menghindari bias pengertian perbuatan tercela ini maka perlu dibuat suatu standar etik yang berlaku dalam birokrasi tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam menentukan suatu kebijakan publik. Bila mempergunakan batasan yang terlalu formil dan kaku akan merumitkan upaya untuk mengurangi korupsi.
Suap menyuap sebagai sebuah kejahatan telah dikenal sejak adanya pemerintahan. Dalam cerita Al Qur’an tentang tingkah laku Fir’aun yang menindas rakyatnya dan mengumpulkan kekayaan yang berlimpah untuk kesenangannya adalah termasuk korupsi. Demikian juga Nabi Muhammad dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa “dilaknat oleh Allah bagi pemberi suap dan penerima suap”. Jadi rupanya korupsi bukanlah fenomena baru dalam kehidupan dunia. Persoalannya yang lebih jauh adalah, apa yang dimaksud perbuatan-perbuatan : “suap”, “dengan melawan hukum” serta “menyalahgunakan jabatan atau kedudukannya”, “untuk kepentingan dirinya atau orang lain” serta “yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Dalam pemahaman umum tentu saja dengan gampang dapat dijawab bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah merupakan perbuatan tercela atau tidak bermoral karena merugikan orang lain, karena itu pantas mendapatkan hukuman.

Korupsi Di Indonesia
Di Indonesia, kita melihat kasus suap terjadi hampir di setiap lapisan masyarakat. Tak hanya di sektor pemerintahan, suap bahkan dapat dengan mudah ditemukan di sektor swasta. Tak hanya ditemukan dalam bidang-bidang yang berhubungan dengan perdagangan, suap pun meringksek ke dalam ranah layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, hingga administrasi kependudukan.
Korupsi yang selama ini berjalan memiliki metode yang jelas, yaitu buat pendapatan sekecil mungkin dan buat pengeluaran sebesar mungkin. Bentuknya beraneka ragam, pelakunya pun bermacam-macam. Ada korupsi yang dilakukan oleh pemegang kebijakan. Misalnya, mereka menentukan dibangunnya suatu proyek yang sebenarnya tidak perlu atau memang perlu tapi di tempat lain, menentukan kepada siapa proyek harus jatuh, menentukan jenis investasi pada perusahaan hampir bangkrut milik pejabat, dan mengharuskan BUMN bekerja sama dengan perusahaan swasta tertentu tanpa memperhatikan faktor ekonomis. Korupsi juga dilakukan pada pengelolaan uang negara seperti uang yang belum/sementara tidak dipakai sering diinvestasikan dalam bentuk deposito, bunganya mereka ambil, bahkan seringkali mereka mendapat premi dari bank; BUMN pengelola uang pensiunan atau asuransi menginvestasikan uang tersebut untuk kepentingan pribadi,atau bahkan di perusahaannya pribadi. Korupsi juga kerap terjadi pada pengadaan dalam bentuk membeli barang yang sebenarnya tidak perlu untuk memperoleh komisi, membeli dengan harga lebih tinggi dengan cara mengatur tender, membeli barang dengan kualitas dan harga tertentu tetapi barang yang diterima kualitasnya lebih rendah, selisih harganya masuk ke saku pejabat, atau barang dan jasa yang dibeli tidak diterima seluruhnya, sebagiannya digunakan oleh pejabat. Begitu pula korupsi terjadi pada penjualan barang dan jasa, pengeluaran, dan penerimaan.
Untuk masuk ke sekolah milik negara, calon siswa tak hanya harus memenuhi persyaratan administratif, tetapi juga harus menyiapkan uang pelicin. Demikian pula dalam pelayanan Rumah Sakit milik negara, suap dibutuhkan agar seorang pasien dapat dilayani dan mendapatkan ranjang kosong untuk perawatan. Dalam bidang administrasi kependudukan, peraturan di masing-masing daerah sepertinya “sengaja” dibuat tidak sinkron untuk mempersulit proses kepindahan seorang warga dari satu wilayah ke wilayah lain, sehingga membuka peluang suap untuk memperlancar urusan. Kemudian dalam bidang penddidikan tidak sedikitnya para kepala sekolah berani membeli lembar jawaban kepada dinas pendidikan supaya anak-anak didiknya lulus 100 %.
Boleh dikatakan, tidak ada satu layanan publik pun yang terbebas dari suap. Dan tidak ada satu warga Indonesia pun yang tidak pernah terlibat kasus penyuapan, kecuali bagi mereka yang tinggal di wilayah terpencil dan tidak pernah berurusan dengan negara. Dari kebiasaan memberikan suap inilah korupsi ikut menjadi subur. Seorang dokter yang memberikan suap untuk dapat duduk di bangku universitas dan bekerja di rumah sakit, akan meminta suap dari calon pasiennya atau mengurangi hak-hak yang seharusnya diterima oleh pasien.
Seorang pejabat publik yang meraih kedudukannya dengan jalan suap akan meminta suap dari masyarakat atau memotong hak-hak yang seharusnya diberikan kepada masyarakat yang dilayaninya.
Akibatnya, kecurangan tidak hanya terjadi di satu sisi saja-suap yang diberikan dari bawah ke atas (bottom-up) –melainkan juga penggelapan uang negara yang seharusnya menjadi hak rakyat untuk masuk ke dalam kas pribadi– dari atas ke bawah (top-down). Inilah yang terjadi di Indonesia selama beberapa puluh tahun belakangan.
Kasus penyelewengan pajak oleh gayus tambunan yang sangat merugikan negara menghabiskan sampai 17 Truliun, sangat susah di tangani karena korupsi yang dilakukan Gayus bekerja sama dengan para penjabat tingginya, hingga akhirnya petinggi-petinggi Pajak di tahan, kasus-kasus korupsi yang baru-baru ini terjadi di indonesia yang di beritakan di media lokal maupun elektronik, Penggelapan anggaran Wisma atlet oleh Nazarudin, seorang bendahara umum partai Demokrat, juga belum dapat di tangani, lambannya penanganan korupsi dan ringannya hukuman yang diberikan kepada para koruptor membuat subur peraktek praktek korupsi di Indonesia.

Perspektif Al-qur’an Tentang Pemberantasan Korupsi
Kalo kita berbicara perspektif al-qur’an tentang pemberantasan korupsi berarti secara tidak langsung kita membicarakan peran agama Islam dalam pemberantasan korupsi, karena agama Islam di serahkan tanggung jawab untuk memegang al-qur’an,
Menanggapi korupsi pandangan dan sikap Islam sangat tegas: haram dan melarang. Banyak argumen yang mengatakan mengapa korupsi dilarang keras dalam Islam. Di sini penulis berkomentar Selain karena secara prinsip bertentangan dengan misi sosial Islam yang ingin menegakkan keadilan sosial dan kemaslahatan semesta (iqâmat al-'adâlah alijtimâ'iyyah wa al-mashlahat al-'âmmah), islam adalah agama penyempurna dari ajaran sebelumnya oleh karena itu, al- Qur'an, al-Hadits maupun ijmâ' al- 'ulamâ menunjukkan pelarangannya secara tegas (sharih). Tetapi dalam karya ilmiah ini penulis hanya mengkaji peran Al-qura dalam pemberantasan korupsi.
Dalam al-Qur'an, misalnya, dinyatakan: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan cara batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (cara berbuat) dosa padahal kamu mengetahui.” Dalam ayat yang lain disebutkan: “Hai orangorang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan cara perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….” Itulah contoh al-qur’an melarang mengambil harta yang bukan miliknya (red Korupsi).
secara mendasar, Islam memang sangat anti korupsi. Yang dilarang dalam Islam bukan saja perilaku korupnya, melainkan juga pada setiap pihak yang ikut terlibat dalam kerangka terjadinya tindakan korupsi itu. Bahkan kasus manipulasi dan pemerasan juga dilarang secara tegas, dan masuk dalam tindakan korupsi.

1. Dalil-dalil Pemberantasan Korupsi
Surat Al-Baqarah : 188
Artinya :
Janganlah kalian memakan harta diantara kalian dengan jalan yang batil dengan cara mencari pembenarannya kepada hakim-hakim, agar kalian dapat memakan harta orang lain dengan cara dosa sedangkan kalian mengetahuinya.

Pada Surat Al-Baqarah ayat 188 disebutkan secara umum bahwa Allah SWT melarang untuk memakan harta orang lain secara batil. Qurtubi memasukkan dalam kategori larangan ayat ini adalah: riba, penipuan, ghosob, pelanggaran hak-hak, dan apa yang menyebabkan pemilik harta tidak senang, dan seluruh apa yang dilarang oleh syariat dalam bentuk apapun
Asbabunnuzul ayat ini diturunkan kepada Abdan bin Asywa’ al-Hadhramy menuduh bahwa ia yang berhak atas harta yang ada di tangan al-Qois al-Kindy, sehingga keduanya bertengkar di hadapan Nabi SAW. Al-Qois membantah dan ia mau bersumpah untuk membantah hal tersebut, akan tetapi turunlah ayat ini yang akhirnya Qois tidak jadi bersumpah dan menyerahkan harta Abdan dengan kerelaan. Pokok permasalahan dalam ayat di atas adalah larang memakan harta orang lain secara umum dengan jalan batil, apalagi dengan jalan membawa ke depan hakim, sedangkan jelas harta yang diambil tersebut milik orang lain. Korupsi adalah salah satu bentuk pengambilan harta orang lain yang bersifat khusus. Dalil umum di atas adalah cocok untuk memasukkan korupsi sebagai salah satu bentuk khusus dari pengambilan harta orang lain. Ayat di atas secara tegas menjelaskan larangan untuk mengambil harta orang lain yang bukan menjadi haknya
Surat Al-Imran :161
Artinya :
Tidaklah pantas bagi seorang Nabi untuk berlaku ghulul (khianat), barang siapa yang berlaku ghulul maka akan dihadapkan kepadanya apa yang dikhianati dan akan dibalas perbuatannya dan mereka tidak akan dizhalimi.

lebih spesifik disebutkan tentang ghulul yang bermakna khianat. Maksudnya mengkhianati kepercayaan Allah SWT dan manusia, terutama dalam pengurusan dan pemanfaatan harta ghonimah. Lebih jelas Ibnu Katsir menyebutkan dari Aufy dari Ibnu Abbas bahwa ghulul adalah membagi sebagian hasil rampasan perang kepada sebagian orang sedangkan sebagian lagi tidak diberikan.
Asbabunnuzul ayat ini adalah ketika sebuah harta rampasan perang setelah perang badar hilang, orang-orang munafiq menuduh bahwasanya Nabi SAW menggelapkan barang tersebut, sehingga turunlah ayat ini.
Ayat ini merupakan peringatan untuk menghindarkan diri dari pengkhianatan amanat dalam segala bentuk. Ibnu Arabi menyebutkan bahwa secara bahasa makna ghulul ada 3, yaitu khianat, busuk hati, dan khianat terhadap amanat ghanimah.18 Ayat ini secara khusus ditujukan kepada Nabi SAW tentang keadilan di dalam pembagian harta ghonimah yang berasal dari rampasan perang, akan tetapi maksud ayat ini ditujukan umum kepada seluruh umat Islam. Ketika Muadz diutus ke Yaman, Rasulullah SAW juga memberikan nasehat untuk tidak berlaku ghulul, sebagaimana disebutkan di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Ayat ini secara spesifik memang hanya membahas tentang penyalahgunaan harta bersama untuk dikuasai sendiri, akan tetapi ini akan menjelaskan bagaimana seseorang tidak boleh berlaku khianat atau menyelewengkan harta tersebut. Sesuai dengan salah satu makna korupsi bahwa pekerjaan ini termasuk penggelapan terhadap harta orang lain atau masyarakat.

Surat Al-Khadafi : 79
Artinya :
Adapun kapal adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, maka aku akan merusaknya karena di belakang mereka seorang raja yang selalu mengambil hak mereka dengan jalan ghosob

Selanjutnya yang termasuk dalam kategori korupsi adalah ghosob. Ayat 79 dari surat Al-Kahfi adalah menceritakan seorang raja yang zalim yang akan mengambil kapal dari orang-orang miskin dengan jalan ghosob. Seorang alim yang dikisahkan dalam ayat ini lantas menenggelamkan kapal agar supaya tidak bisa dimanfaatkan dengan tidak halal (ghosob) oleh raja yang zalim tersebut.
Pengertian ghosob adalah menguasai harta orang lain dengan pemaksaan dengan jalan yang tidak benar, lebih lanjut dijelaskan bahwa ghosob dilakukan dengan terang-terangan sedangkan ketika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi maka dinamakan pencurian. Hanya ghosob ini kadang berupa pemanfaatan barang tanpa izin yang kadang dikembalikan kepada pemiliknya.
Menganalogikan ghosob sebagai salah satu bentuk korupsi dengan alasan bahwa ayat di atas menceritakan bagaimana seorang raja yang semena-mena dapat dengan seenaknya menggunakan hak milik rakyatnya yang miskin dengan memanfaatkan kapal yang dimiliki oleh rakyat untuk kepentingan pribadinya. Pada kasus ini ada unsur memperkaya diri atau pribadinya dengan menggunakan hak rakyatnya dengan jalan yang tidak benar.

Surat Al-Maidah : 42

Surat Al-Maidah : 33
Al-Maidah : 38
Al Syuara : 183 & Al-Muthafifin 1-3